Masing-masing agama pasti memiliki dimensi eksklusifitas. Dimensi eksklusif itulah yang sedikit banyak berpengaruh pada doktrin dan sikap etis agama tersebut. Coba kita renungkan. Adakah agama dan kepercayaan yang tidak mengklaim dirinya adalah jalan menuju pada kesempurnaan dan kebenaran? Jawabnya adalah tidak ada!
Yah .... itulah agama. Jika ada yang bilang "tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan", kita juga harus sadar juga bahwa tidak ada agama yang tidak mengklaim diri sebagai jalan yang utama. Konsekuensinya, penganut kepercayaan atau agama lain akan diberi gelar "bukan umat (goyim)", kafir atau istilah yang sejenis.
Dimensi ekslusifitas beserta segala konsekuensinya itulah yang membuat nikah beda agama menjadi sesuatu yang diharamkan dalam kehidupan masyarakat kita. Dalam perkembangannya kemudian larangan terhadap pernikahan beda agama itu dilegitimasi oleh beberapa teks kitah suci yang dikutip dan dicomot begitu saja. tanpa dilihat konteksnya (misal di kalangan kekristenan sering digunakan teks 2Korintus 6:14).
NIKAH BEDA AGAMA DI DALAM ALKITAB
Dalam Perjanjian Lama (PL)
Sebenarnya, istilah "menikah beda agama" berbeda dengan "perkawinan campuran". Perkawinan campuran adalah perkawinan antar bangsa/suku bangsa. Namun dalam Perjanjian Lama, kawin campur atau nikah beda agama adalah identik. Menikah dcngan orang non Israel (kawin campur) berarti juga menikah dengan yang berheda agama. Ada tiga cara pandang yang berbeda mengenai perkawinan campuran (nikah beda agama) dalam Perjanian Lama:
l. Karena dianggap membahayakan iman kepada YHWH, perkawinan campuran dilarang.
Pada jaman itu, non- YHWH-isme identik dengan politeisme (penyembahan terhadap ilah yang majemuk dalam rupa dewa-dewi) dan bar-barian. Populasi Israel sehagai pemuja YHVH (monoteis, "beradab") saat itu jauh lebih kecil jika dibandingkan bangsa¬bangsa besar lain di sekitarnya (politeis, "bar-bar"). Oleh karena itu hampir dipastikan YHWH-isme akan luntur jika terjadi perkawinan campuran. Maka pernikahan dengan bangsa non-Israel dilarang. ( Lihat: Ulangan 7:1-11; Keluaran 34:12-16; Maleakhi 2:10-15; Ezra 2:59-62; Nehemia 7:61-64: 13:23-29)
II. Namun di sisi lain, kita tak dapat memungkiri bahwa di dalam PL, kawin campur juga dibeberkan sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Sebagai bangsa kecil di tengah beragamnya peradaban di sekitarnya, orang-orang Israel tak dapat menghindari relasi sosial dengan hangsa lain yang juga beragama lain. Maka pernikahan heda agama juga menjadi realitas yang tak terhindarkan. Bahkan "tokoh-tokoh besar" Israel pun mengalaminya, dan itu dicatat oleh Alkitab.
A. Kejadian 38:1-2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan)
B. Kejadian 46: 10 (Simeon juga menikah dengan wanita Kanaan)
C. Kejadian 41:45 (YusufdenganAsnat, anak.Potijera, imam di On-Mesir)
D. Kejadian 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Becri orang HeI)
E. Bilangan 12:1 (Musa - sang pemimpin Israel menikah dengan seorang perempuan Kusy)
F. Rut
III. Kawin campur dalam konteks tertentu dianjurkan.
Haaa ... ? Dianjurkan? Ya. Ini terdapat dalam Ulangan 21:10-14. Bagian ini merupakan rangkaian dari perikop yang berhieara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel (lihat Ulangan 20 - 21 :14). Pada bagian ini dengan gamblang diatur: apabila Israel menang perang, menawan musuh dan di antaranya ada para wanita yang menarik, maka wanita itu harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati hak-haknya. Lalu: ... "sesudah itu bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi istrimu."
Di sini kita melihat bahwa pernikahan dengan wanita non-Israel diijinkan agar umat tidak terjatuh pada dosa kejahatan perang, dalam hal perlakuan biadab terhadap para wanita tawanan perang,
Selanjutnya dalam Perjanjian Baru (PB)
Dalam PB. boleh tidak kawin dengan orang berbeda agama? Teks 2 Korintus 6:14 yang berbunyi "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" adalah teks favorit yang paling sering dikutip untuk melegitimasi pelarangan menikah dengan orang yang berbeda agama.
Jika menilik konteksnya, sejatinya ayat itu tidak ditujukan untuk melarang atau mendukung seorang Kristen menikah dengan orang non-Kristen, melainkan lehih ditujukan hagi para petobat baru, yang pasangannya masih memeluk kepercayaan yang lama. Tujuannya jelas, yakni agar orang-orang Kristen benar-benar menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangannya. Mereka dipanggil untuk menularkan positive influence bagi pasangannya yang belum percaya. Namun demikian toh Paulus tetap melarang orang-orang Kristen menceraikan pasangannya yang sudah berbeda iman itu, kecuali pasangannya yang menginginkan (lihat: 1 Korintus 7: 12-16).
Hal senada juga dapat kita lihat dalam I Petrus 3:1-7. Teks ini bicara soal pernikahan beda agama yang diakibatkan oleh pertobatan istri dari pasangan "kafir". Padahal peranan suami adalah dominan dan harus ditaati oleh istri sebagai pihak yang lebih lemah (1 Petrus 3:7). Dalam konteks yang demikian para istri tetap harus menjalankan panggilannya untuk menjadi kesaksian di tengah orang yang tidak percaya. (1 Petrus 2: 12).
ASPEK LEGAL PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Dalam Tata Gereja GKI misalnya, hal ini diatur dalam Tata Laksana, Bab X, ps. 30,ayat 9b ditulis: Jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja (baca: bukan Kristen), ia harus bersedia menvatakan secara tertulis denganjormulirvang ditetapkan oleh Majelis Sin mie bahwa :
A. Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.
B. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani.
C. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani
Dari sini terlihat, dalam Tager ini tidak disediakan untuk memberi restu bagi pemuda pemudi Kristen untuk menikah dengan orang non-Kristen. Justru sebaliknya, pasal ini mengarahkan pasangan beda keyakinan kepada sebuah ke sepakan untuk menjadikan keluarga tersebut sebagai keluarga yang Kristiani. Bukankah ini selaras dengan yang digemakan dalam surat Korintus dan Petrus?
Persoalannya adalah bagaimana kita bisa menjamin bahwa formulir kesediaan untuk tidak menghambat pasangan dan mendidik keluarga secara Kristiani tersebut hakal diisi secara jujur dan konsekuen'? Di sinilah dibutuhkan peran penggembalaan oleh Majelis Jemaat (Pendeta dan penatua).
Beberapa jemaat mengharuskan pasangan yang bukan Kristen mengikuti katekisasi sampai lulus dan dibaptis terlebih dahulu, baru pernikahannya bisa diteguhkan dan diberkati. Namun ada jemaat-jemaat yang lain agak longgar aturannya. Yang penting sudah mau ikut katekisasi dan sedang menjalani pelajaran katekisasinya, ia dinyatakan sebagai simpatisan gereja dan sudah berhak diberkati.
Masalah akan jadi pelik apabila masing-masing pasangan bersikukuh untuk tidak bersedia menjadi seiman. Nah jika sudah demikian pasangan tersebut setidaknya akan menghadapi dua masalah hesar. Apa sajakah itu?
A) Pernikahannya tidak mendapat pengesahan dari negara lewat Catatan Sipil.
Memang dalam Pasal 75 Huwelijks Ordonantie Christen Inlanders (HOCI) Stbl. 1933 / 74 pernah diatur:
Perkawinan antara pria non Kristen dengan wanita Kristen, atas permintaan kedua belah suami-istri, dapat diteguhkan berdasarkan ordinasi dan register Catatan Sipil untuk golongan Kristen-Indonesia (di Jawa, Madura, minahasa, Ambon, Saparua dan Banda). Namun kini yang berlaku adalah UU Perkawinan yakni UU No. 1/1974, Ps.2:1 yang mengatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaany a itu.
Jika menilik peraturan perundangan ini maka tidak dimungkinkan melakukan upacara nikah dengan dua agama atau kepercayaan.
B) Keluarga tersebut akan mengalami ketidakjelasan identitas.
Ketidaksamaan standar moral etis dalam sebuah keluarga memang bisa saja terjadi. Namun itu merupakan awal sebuah bencana besar dalam hidup berkeluarga, terutama jika keluarga itu berhadapan dengan problem rumah tangga. Misalnya : yang satu mengharamkan perceraian, sementara yang lain mengatakan boleh. Yang satu memegang erat asas monogami, yang lain mengatakan boleh poligami asal adil, dan masih banyak masalah yang lain, termasuk yang menyangkut makanan, ada tidaknya meja pemujaan di rumah, dsb. Ada lagi satu pertanyaan prinsip. Siapakah yang menjadi kepala rumah tangga? Tentu bukan lagi Kristus. Dampaknya keluarga tersebut tidak akan dapat memainkan peran dalam menjawab tugas kerasulan untuk menjadi garam dan bercahaya bagi Kristus. Jika dipaksakan untuk terus berjalan sendiri') Bisa! Tapi sehatkah keluarga yang demikian? Silahkan menjawab sendiri.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas kita masuk dalam sebuah kesimpulan. Pernikahan beda agama sebenarnya tidak bersangkut paut dengan dosa atau tidak berdosa. Juga bukan soal boleh atau tidak. Secara konseptual pernikahan ini sah-sah saja, asalkan masing-masing pihak benar-benar berkomitmen untuk saling menghargai perbedaan masing-masing dan menghormati perjanjian pernikahannya. Namun secara faktual pasangan nikah beda agama akan menempuh jalan terjal untuk menuju keluarga Kristiani yang serasi dan bahagia. Jalan terjal tersebut kadang dapat dilewati dengan baik dan sukses tetapi kadang sangat membahayakan dan gagal. Oleh karena itu sehaiknya herpikir dua kali sebelum mengambil keputusan pernikahan beda agama.
Disalin dari : Majalah Sukita, edisi 23, tahun VII, Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar